Literasi Agama dan Keluarga: Pondasi Membangun Keluarga Bahagia di Era Digital

Opini oleh : Dr.Edi Rosman.M.Hum, Wakil Rektor III UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi

Era digital telah membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam institusi keluarga. Kemudahan akses informasi, hiburan tanpa batas, dan interaksi virtual yang serba cepat menawarkan banyak manfaat, tetapi sekaligus menyodorkan tantangan kompleks. 

 

Di tengah pusaran perubahan ini, keluarga seringkali kehilangan makna. Nilai-nilai kebersamaan tergerus oleh individualisme di depan layar, komunikasi yang hangat tergantikan oleh notifikasi dingin, dan otoritas orang tua tergerus oleh influencer di media sosial. 

 

Dalam konteks inilah, literasi agama dan keluarga muncul bukan hanya sebagai konsep, melainkan sebagai kebutuhan mendesak untuk membangun benteng yang kokoh bagi terwujudnya keluarga yang bahagia dan sakinah.

Pertama, kita perlu memahami makna dari kedua literasi ini secara mendalam. Literasi agama dalam konteks keluarga melampaui kemampuan membaca Al-Qur’an atau menghafal doa.

 

Ia adalah kemampuan untuk memahami, merasionalisasi, dan menginternalisasi nilai-nilai universal agama seperti kejujuran, kasih sayang (rahmah), tanggung jawab, kesabaran, dan rasa syukur lalu menerapkannya dalam dinamika keseharian. 

 

Literasi agama adalah kompas moral yang mengarahkan setiap tindakan dan keputusan dalam keluarga, dari hal sepele seperti etika berbicara di grup WhatsApp hingga hal besar seperti mengelola keuangan dengan prinsip jujur ​​dan menghindari riba.

Sementara itu, literasi keluarga adalah kecakapan untuk menjalankan peran dan fungsi keluarga secara efektif. Ini termasuk kemampuan komunikasi yang sehat, keterampilan menyelesaikan konflik, pemahaman tentang tahapan perkembangan anak, pengelolaan ekonomi rumah tangga, dan yang paling krusial di era digital: kecakapan digital (digital parenting). 

 

Literasi keluarga memungkinkan orang tua tidak hanya menjadi pengawas, tetapi juga pemandu dan teman diskusi bagi anak-anaknya dalam menjelajahi dunia maya.

Kombinasi dari kedua literasi inilah yang akan menjadi penakal paling ampuh terhadap disrupsi era digital. Bagaimana penerapannya?

 

1. Literasi Agama sebagai Filter dan Fondasi.

Dunia digital adalah lautan informasi tanpa filter. Anak-anak dan remaja mudah terpapar konten kekerasan, kebencian, hoaks, dan nilai-nilai yang bertentangan dengan budaya dan agama. 

 

Di dalamnya literasi agama berperan sebagai “sistem kekebalan” atau sistem kekebalan keluarga. Dengan pemahaman agama yang baik, anak tidak hanya mengetahui bahwa suatu konten “haram” atau “buruk”, tetapi mereka juga memahami alasan filosofis dan moral di baliknya. 

 

Mereka mampu berpikir kritis alih-alih sekedar menuruti larangan. Orang tua dengan literasi agama yang baik dapat mengajak berdiskusi, misalnya, “Nak, kenapa agama melarang ghibbi? Coba kita lihat dampak buruk komentar jahat di kolom media sosial ini.” Agama menjadi kerangka berpikir, bukan sekedar daftar perintah dan larangan.

2. Literasi Keluarga untuk Membangun Quality Time di Dunia Nyata.

Salah satu ancaman terbesar era digital adalah terfragmentasinya kebersamaan keluarga. Masing-masing anggota sibuk dengan gawainya sendiri. 

 

Literasi keluarga mengajarkan untuk secara sadar menciptakan “zaman bebas gadget” dan menggantinya dengan interaksi yang bermakna. Bukan sekadar melarang, tapi menyediakan alternatif yang lebih menarik: membaca buku bersama, berkebun, memasak, atau sekadar bercerita tentang hari ini. 

 

Ritual keagamaan seperti shalat berjamaah, mengkaji kitab bersama, atau berbuat baik kepada tetangga menjadi momentum untuk merekatkan hubungan dan mengalihkan ketergantungan pada dunia maya. 

 

Keluarga yang literat memahami bahwa kebahagiaan sejati dibangun melalui kehadiran dan perhatian penuh, bukan melalui likes dan share.

3. Sinergi Literasi dalam Digital Parenting.

Orang tua tidak bisa lagi melarang otoriter menggunakan teknologi. Pendekatan yang tepat adalah dengan menjadi mitra dan pemandu. 

 

Hal ini membutuhkan sinergi kedua literasi. Literasi keluarga memberikan keterampilan teknis: memahami cara kerja platform media sosial, menggunakan fitur parental control, dan mengenali tanda-tanda kecanduan gadget.

 

Sementara literasi agama memberikan nilai landasan: menetapkan batasan berdasarkan etika, mengajarkan konsep menjaga aurat dan privasi, serta menggunakan waktu secara proporsional (seimbang antara dunia dan akhirat). 

 

Orang tua yang melek digital dan kuat agamanya akan mampu berkata, “Ayo nak, kita eksplor aplikasi edukasi ini bersama,” atau “Boleh main game, tapi ingat, ada waktu untuk beribadah dan membantu orang tua.”

4. Keteladanan (Uswah Hasanah) sebagai Kunci.

Literasi kedua ini akan terjadi jika tidak dimulai dari keteladanan orang tua. Anak adalah peniru ulung. Mustahil meminta anak mengurangi waktu layar jika orang tua sendiri tidak bisa lepas dari smartphone-nya. 

 

Mustahil mengajarkan kejujuran jika orang tua berbohong kecil. Literasi agama dan keluarga menuntut orang tua untuk terus belajar dan berbenah diri. 

 

Keteladanan dalam berucap yang santun, menggunakan gadget secara sehat, dan konsistensi dalam beribadah adalah kurikulum terpenting yang tidak tertulis.

Membangun keluarga bahagia di era digital adalah sebuah pilihan sadar yang memerlukan usaha kolektif. Literasi agama memberikan dan kompas moral, sementara literasi keluarga memberikan kerangka dan keterampilan jiwa praktis. 

 

Keduanya bersinergi untuk menciptakan lingkungan rumah yang tidak hanya nyaman secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan psikologis hangat. Keluarga harus bertransformasi dari sekadar unit sosial menjadi “sekolah” pertama dan utama yang membekali anggotanya dengan nilai-nilai luhur dan kecakapan hidup, termasuk kecakapan menghadapi era digital. 

 

Dengan memperkuat kedua pilar literasi ini, keluarga tidak akan tenggelam oleh gelombang digital, tetapi justru akan mampu mengarunginya dengan penuh hikmah, menjadikan teknologi sebagai alat pemersatu dan pemberi kemaslahatan, bukan perusak ikatan. 

 

Pada akhirnya, keluarga bahagia adalah yang mampu menjaga api agama dan kehangatan komunikasi tetap menyala, meski badai digital terus menerpa. ***