TANJUNGPINANG (HK) — Monumen Bahasa Nasional yang akan menjadi simbol kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau sekaligus pengingat sejarah penting lahirnya Bahasa Indonesia dari Bahasa Melayu siap dibangun di Pulau Penyengat, Tanjungpinang.

Terkait rencana pembangunan tersebut, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad memimpin rapat pemaparan Detail Engineering Design (DED) pembangunan Monumen Bahasa Nasional Pulau Penyengat di Gedung Daerah, Tanjungpinang, Jumat (3/10) malam.
Rapat ini menjadi momentum penting dalam menyatukan pandangan berbagai pihak untuk memastikan pembangunan monumen berjalan matang dan bermakna.
Turut hadir Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri Raja Al Hafiz, para kepala OPD, tokoh masyarakat, akademisi, serta sejumlah stakeholder terkait.

Pemaparan DED dilakukan oleh Konsultan PT. Saranabudi Prakarsa Ripta KSO PT. Mirazh Internasional Consultant, yang mencakup konteks kawasan, desain siteplan, rancangan bangunan, hingga tampilan perspektif dan animasi.
Gubernur Ansar menyampaikan bahwa forum ini digelar sebagai ruang terbuka untuk menerima masukan konstruktif.
“Kita sengaja mengundang semua pihak agar pembangunan monumen ini benar-benar matang. Semua saran tadi sangat mendasar dan akan kami tindak lanjuti. Saya minta Dinas PUPR bersama konsultan menyempurnakan desain berdasarkan masukan malam ini,” ujarnya.
Ansar juga menegaskan pentingnya belajar dari pengalaman masa lalu agar proses pembangunan tidak mengalami hambatan.
“Kita harus jaga betul agar tidak terulang seperti pembangunan yang sempat batal. Ini ide besar yang saya lanjutkan dari pendahulu.
Mari kita kawal bersama agar cita-cita mempertegas bahwa cikal bakal Bahasa Indonesia berasal dari Kepri dapat diwujudkan melalui Monumen Bahasa ini,” tegas Ansar.
Berbagai pihak memberikan pandangan penting dalam pemaparan DED tersebut.
Kepala Balai Pelestarian Budaya Wilayah IV, Jumhari, menyatakan dukungan penuh Kementerian Kebudayaan.
“Tugu Bahasa tidak hanya simbolis, tapi juga harus memberi manfaat kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan aturan dan norma cagar budaya,” ujarnya.
Ia juga berharap tim ahli cagar budaya dan kementerian terkait dapat memberi dukungan sarana dan prasarana.
Dari Balai Penataan Bangunan Prasarana dan Kawasan Provinsi Kepri, perwakilan Satker Pelaksanaan Cipta Karya menyoroti pentingnya perhitungan kebutuhan listrik dalam desain agar proses pembangunan lebih komprehensif.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kepri, Abdul Malik, mengingatkan bahwa gagasan pembangunan monumen ini telah lama bergulir.
“Tahun 2009 kita datangkan pakar, dilanjutkan seminar pada 2010, semua merekomendasikan perlunya monumen yang mengabadikan jejak Raja Ali Haji dan peran Pulau Penyengat sebagai asal muasal Bahasa Indonesia,” pungkasnya.
Abdul Malik juga mengingatkan negara lain seperti Turkmenistan bahkan sudah mendirikan monumen Raja Ali Haji.
“Dunia menghargai. Saatnya kita juga menunjukkan kepedulian terhadap bahasa dan budaya kita sendiri,” tambahnya.
Perwakilan STISIPOL Tanjungpinang, Zamzami, menambahkan pentingnya pelibatan masyarakat.
“Secara filosofi tidak ada masalah. Namun, karena monumen ini merupakan struktur baru di Pulau Penyengat, perlu melibatkan lebih banyak stakeholder agar tidak ada penolakan setelah pembangunan selesai,” ucapnya.
Pembangunan Monumen Bahasa Nasional Pulau Penyengat ini diharapkan menjadi simbol kebanggaan masyarakat Kepri sekaligus pengingat sejarah penting lahirnya Bahasa Indonesia dari Bahasa Melayu.
Tujuan utama Monumen Tugu Bahasa
1. Sebagai identitas dan pelestarian budaya
Monumen ini dibangun agar menjadi simbol identitas budaya Melayu di Kepulauan Riau, khususnya di Pulau Penyengat.
Salah satu fokusnya adalah menghormati jasa Raja Ali Haji, tokoh intelektual dan pahlawan nasional yang banyak berkontribusi dalam perkembangan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, melalui karya seperti Gurindam 12 dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
2. Mengenalkan sejarah Bahasa Melayu / Bahasa Indonesia
Monumen ini dimaksudkan agar masyarakat—termasuk generasi muda—mengerti akar sejarah bahasa nasional, bahwa Bahasa Indonesia memiliki cikal bakal kuat dari Bahasa Melayu dan bahwa Pulau Penyengat memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran bahasa tersebut.
3. Menjadi penanda geografis/budaya
Monumen akan menjadi penanda bahwa “asal-usul Bahasa Indonesia” itu bisa ditelusuri dari Pulau Penyengat. Jadi secara simbolik pula monumen berfungsi sebagai landmark sejarah/linguistik.
4. Meningkatkan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat lokal
Dengan adanya monumen, Pulau Penyengat diharapkan lebih menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Selain memperkaya sisi sejarah dan budaya, monumen ini juga diharapkan memberikan efek ekonomi ke masyarakat sekitar melalui wisata.
5. Revitalisasi Pulau Penyengat
Monumen ini bagian dari upaya yang lebih luas yaitu revitalisasi Pulau Penyengat, memperbaiki infrastruktur, fasilitas publik, lingkungan, serta memperkuat kawasan sejarah agar lebih representatif dan nyaman baik untuk penduduk maupun pengunjung.
Dampak Sosial yang Diharapkan
1. Peningkatan kesadaran akan sejarah dan identitas budaya lokal
Monumen Bahasa akan menjadi simbol penting yang mengingatkan masyarakat akan sumbangsih Pulau Penyengat dan tokoh seperti Raja Ali Haji dalam perkembangan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia.
Generasi muda lokal diharapkan lebih mengenal asal-usul bahasa dan budaya mereka, sehingga identitas lokal mereka diperkuat.
2. Pemberdayaan masyarakat setempat
Revitalisasi tidak hanya meliputi monumen, tapi juga fasilitas publik seperti jalan, Balai Adat, sanitasi, serta infrastruktur dasar seperti air bersih. Hal ini akan meningkatkan kualitas hidup warga.
Keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan, kebersihan, dan pengelolaan destinasi wisata juga disebut sebagai bagian dari proses agar warga ikut merasa memiliki.
3. Penguatan sosial/kultural dan pelestarian bahasa serta budaya lokal
Dengan adanya monumen dan kegiatan budaya yang menyertainya, tradisi lokal seperti seni sastra Melayu (gurindam, seloka, pantun, karya-karya lama, tulisan-tulisan sejarah) akan lebih dilestarikan.
Pulau Penyengat diharapkan menjadi laboratorium budaya dimana masyarakat bisa belajar (formal atau informal) seni berbahasa Melayu, sejarah, dan warisan budaya.
4. Meningkatnya interaksi sosial dan kebanggaan lokal
Masyarakat akan lebih bangga akan tempat asalnya karena Penyengat akan semakin dikenal secara luas sebagai pusat sejarah dan budaya Melayu.
Pengunjung dan wisatawan akan datang, yang bisa mendorong interaksi sosial antara penduduk lokal dengan pengunjung dari luar daerah, serta pertukaran budaya.
5. Efek sosial dari pariwisata dan ekonomi lokal
Dengan meningkatnya kunjungan wisata, diharapkan terjadi peningkatan penghasilan masyarakat lokal melalui usaha-usaha kecil (oleh-oleh, warung makanan/minuman, homestay, jasa pemandu, transportasi lokal).
Fasilitas pendukung wisata (akses jalan, kebersihan, sanitasi, air bersih) yang diperbaiki juga akan memberi manfaat langsung bagi warga dalam kehidupan sehari-hari.
6. Peningkatan kualitas lingkungan dan tata ruang
Penataan kawasan sekitar, pengelolaan sampah (TPST), lingkungan yang lebih bersih dan estetis dijadikan bagian dari target revitalisasi.
Lebih representatifnya ruang publik dan kawasan wisata diharapkan bisa memperbaiki kesejahteraan sosial dan kenyamanan tinggal bagi masyarakat lokal, terutama di pulau yang padat dan memiliki sejarah.
Tantangan yang Perlu Diperhatikan (sisi sosial)
Selain dampak positif, ada beberapa hal yang menjadi perhatian atau tantangan agar manfaat sosial bisa maksimal:
Keterlibatan masyarakat lokal secara nyata
Penting agar pembangunan tidak hanya top-down, tetapi warga setempat dilibatkan dalam perencanaan, pengelolaan, dan pemeliharaan agar mereka merasa memiliki dan hasilnya sesuai dengan kebutuhan lokal.
Pengelolaan dan pemeliharaan jangka panjang
Monumen dan infrastruktur yang dibangun perlu dirawat supaya tidak cepat rusak atau mangkrak.
Revitalisasi memerlukan dana, sumber daya manusia, dan komitmen.
Kelangsungan budaya lisan dan tradisi
Monumen bisa jadi simbol, tapi budaya lisan, tradisi lisan, cerita rakyat, penggunaan bahasa dalam keseharian harus terus dijaga agar budaya tidak hanya menjadi tontonan tapi bagian dari kehidupan masyarakat.
Resistensi terhadap perubahan dimana ada kemungkinan beberapa masyarakat merasa terpinggirkan jika pembangunan berubah terlalu cepat atau tidak dipadu dengna kebutuhan lokal, atau jika ada dampak negatif seperti kenaikan harga lahan, biaya hidup, atau peningkatan wisata yang tidak diatur. (eza)