Literasi Cinta di Dunia Pendidikan Indonesia di Era Digital

Opini Oleh: Dr. Edi Rosman, M.Hum – Wakil Rektor III UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Cinta sebagai Basis Pendidikan

Pendidikan di Indonesia sering dipandang hanya sebatas transfer pengetahuan: guru mengajar, murid menerima, lalu diuji melalui angka-angka. Padahal, hakikat pendidikan jauh lebih luas. 

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Artinya, pendidikan bukan sekadar otak yang dipenuhi data, melainkan hati yang disentuh oleh cinta.

Di era digital, ketika arus informasi begitu deras, literasi cinta menjadi kunci penting. Literasi cinta adalah kemampuan memahami, menghayati, dan menghidupkan nilai kasih sayang dalam seluruh proses pendidikan. 

Ini bukan romantisme semata, melainkan sebuah kompetensi etis dan emosional. Cinta menjadi fondasi agar teknologi tidak menjauhkan manusia dari kemanusiaannya.

Era Digital dan Tantangannya

Kita hidup di era digital, di mana anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan gawai. Mereka lebih cepat mengenal ikon media sosial ketimbang ayat kitab suci. 

Mereka bisa menguasai aplikasi editing video, tapi belum tentu tahu bagaimana menyapa orang tua dengan sopan. Inilah paradoks digital: canggih secara teknologi, tapi kering secara empati.

Pendidikan kita menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, kurikulum harus menyesuaikan dengan perkembangan digital. Di sisi lain, guru dituntut menjaga nilai-nilai humanis.

Di sinilah literasi cinta menjadi penyeimbang. Tanpa cinta, teknologi hanya menghasilkan generasi pintar tapi dingin; cerdas, tetapi kering dari jiwa kemanusiaan.

Literasi Cinta dalam Perspektif Wahyu

Dalam Al-Qur’an, cinta (mahabbah) adalah bagian integral dari kehidupan beriman. Allah menegaskan: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159). Cinta dalam wahyu bukan sekadar rasa, melainkan sikap aktif yang diwujudkan dalam kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab.

Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya cinta dalam pendidikan: “Tidaklah seorang di antara kamu beriman sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Hadis ini meneguhkan bahwa cinta adalah basis interaksi sosial, termasuk dalam dunia pendidikan. Guru yang mencintai muridnya akan sabar dalam mendidik. Murid yang mencintai gurunya akan hormat dan taat.

Dengan kata lain, literasi cinta dalam pendidikan berarti mempraktikkan ajaran wahyu dalam ruang belajar: menumbuhkan kasih sayang, menghindari kekerasan, mencegah diskriminasi, dan menciptakan suasana yang menenangkan.

Menghidupkan Literasi Cinta di Ruang Kelas

Pertanyaannya: bagaimana menghidupkan literasi cinta di tengah derasnya era digital? Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

Guru sebagai teladan kasih

Guru bukan hanya pengajar, melainkan pendidik jiwa. Ketika guru menyapa murid dengan ramah, mendengarkan keluhan mereka, dan tidak mempermalukan mereka di depan kelas, sesungguhnya guru sedang menanamkan literasi cinta.

Murid sebagai subjek, bukan objek

Literasi cinta mengajarkan bahwa murid bukan sekadar “kertas kosong” yang diisi, melainkan pribadi yang punya potensi. Pendidikan berbasis cinta memberi ruang bagi murid untuk kreatif, berekspresi, dan dihargai suaranya.

Teknologi sebagai alat, bukan penguasa

Gawai, internet, dan media sosial memang penting. Namun, dalam literasi cinta, teknologi hanyalah alat. Yang utama adalah bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat empati, kolaborasi, dan solidaritas. Misalnya, murid diajak membuat konten digital tentang kepedulian sosial, bukan sekadar hiburan kosong.

Lingkungan sekolah sebagai ruang kasih

Sekolah harus menjadi rumah kedua yang penuh kehangatan. Tidak boleh ada perundungan (bullying), diskriminasi, atau kekerasan. Literasi cinta hanya bisa hidup jika sekolah menjadi ekosistem kasih sayang.

Literasi Cinta untuk Guru dan Murid

Literasi cinta bukan hanya tugas murid untuk mencintai guru atau guru mencintai murid. Ia adalah jalan dua arah. Guru butuh penghargaan dari murid, dan murid butuh perhatian dari guru. Di era digital, hubungan ini bisa diperkuat melalui teknologi.

Misalnya, guru bisa memanfaatkan aplikasi komunikasi untuk memberi motivasi singkat kepada murid. Murid pun bisa menggunakan media digital untuk mengekspresikan rasa hormat kepada gurunya, bukan sekadar menyebar meme yang melecehkan. Dengan literasi cinta, interaksi di ruang digital pun menjadi lebih sehat.

Pendidikan Cinta dan Masa Depan Bangsa

Bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kecanggihan teknologinya, tetapi juga dari kualitas moral warganya. Jepang bisa maju bukan hanya karena teknologinya, tetapi karena etika masyarakatnya yang penuh disiplin dan hormat. Indonesia pun bisa maju jika pendidikan berbasis cinta dihidupkan.

Literasi cinta di dunia pendidikan akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga peduli. Mereka akan mampu menggunakan teknologi untuk kemaslahatan, bukan untuk permusuhan. Mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang punya visi, tetapi juga empati.

Di era digital, literasi cinta bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Pendidikan yang hanya menekankan kognisi akan rapuh jika tidak disertai kasih sayang. Literasi cinta membuat ruang kelas lebih hidup, media sosial lebih sehat, dan bangsa lebih bermartabat.

Sebagaimana wahyu mengajarkan, cinta adalah energi yang menggerakkan kehidupan. Jika cinta ditanamkan dalam pendidikan, maka Indonesia akan melahirkan generasi yang bukan hanya pintar mengoperasikan gawai, tetapi juga bijak mengoperasikan hati.

Kini saatnya guru, murid, orang tua, dan seluruh elemen bangsa menghidupkan literasi cinta. Mari jadikan pendidikan Indonesia tidak hanya berorientasi pada angka, tetapi juga pada rasa. Sebab, di tengah derasnya arus digital, hanya cinta yang mampu menjaga manusia tetap menjadi manusia. ***