PT Harvest Teknologi Indonesia Diduga Langgar Hak Buruh: Upah di Bawah UMK, PHK Sepihak, hingga Abaikan K3

BATAM (HK) – PT Harvest Teknologi Indonesia, perusahaan pembuatan scaffolding dan pemotongan plat di Tanjung Sengkuang, Batu Ampar, Batam jadi sorotan.

Perusahaan ini diduga terang-terangan melanggar aturan ketenagakerjaan, merampas hak-hak buruh, dan mengabaikan standar keselamatan kerja.

Tokoh masyarakat Tanjung Sengkuang, Siti Fatimah, menilai praktik di dalam perusahaan ini sudah keterlaluan. Ia menegaskan, karyawan dibayar jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Batam, upah lembur tidak jelas, bahkan kerap dipotong sepihak.

“Gaji tidak sesuai aturan, uang lembur pun tidak jelas, sering dipotong. Jam kerja tidak menentu, semua suka-suka manajemen,” tegasnya, baru-baru ini.

Lebih parah lagi, karyawan tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Semua aturan hanya disampaikan secara lisan, seolah perusahaan kebal hukum.

“Ada karyawan yang dipecat sepihak, seperti Alif, tanpa prosedur dan tanpa hak-hak normatif. Jelas-jelas ini pelanggaran,” tambahnya.

Siti mendesak Dinas Ketenagakerjaan Kota Batam dan instansi terkait turun tangan. Ia meminta agar dilakukan inspeksi mendadak serta audit perizinan perusahaan.

“Jangan biarkan perusahaan memperlakukan buruh seenaknya. Buruh bekerja sungguh-sungguh, tapi perusahaan membalas dengan kesewenang-wenangan. Pekerjaan yang diberikan tudak main-main, tapi karyawan digaji main-main,” tegasnya.

Senada, Junedi, pengawas di perusahaan, mengakui kondisi yang carut-marut ini. Menurutnya, banyak karyawan terpaksa diam karena takut dipecat.

“Semua tahu gaji di bawah UMK, uang lembur tidak jelas. Tapi buruh tidak berani bersuara, karena khawatir kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.

Ironisnya, Sela selaku manajemen di perusahaan tersebut justru mengakui bahwa pemecatan terhadap karyawan dilakukan hanya secara lisan, tanpa surat resmi sesuai aturan. 

Lebih jauh, perusahaan bahkan tidak menyediakan alat keselamatan kerja (K3) dan belum mendaftarkan karyawan ke BPJS Kesehatan, padahal itu adalah kewajiban dasar.

“Sekarang jumlah karyawan sekitar 20 orang, kami memang tidak memiliki HRD maupun aturan tertulis terhadap karyawan dan rudak ada kontrak kerja,” ujarnya.

Praktik semacam ini jelas mencoreng wajah dunia kerja di Batam. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin semakin banyak perusahaan lain yang berani menginjak-injak aturan ketenagakerjaan. 

Pemerintah daerah dan aparat terkait dituntut segera bertindak tegas sebelum masalah ini semakin meluas. (dam)