Literasi Demokrasi Pancasila Menuju Indonesia Emas di Era Digital

Opini oleh: Dr.Edi Rosman.S.Ag.,M.Hum Wakil Rektor 3 UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi

Indonesia saat ini berada pada persimpangan sejarah. Sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dan mayoritas generasi mudanya lahir dalam pusaran era digital, bangsa ini menghadapi tantangan sekaligus peluang yang besar dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045. 

Salah satu kunci penting untuk meraih cita-cita tersebut adalah penguatan literasi demokrasi berbasis Pancasila.

Era digital membawa arus informasi yang deras, interaksi lintas batas yang tanpa sekat, serta dinamika politik yang semakin cair. Namun, di balik semua itu, ada risiko menguatnya polarisasi, disinformasi, dan praktik demokrasi yang dangkal. 

Karena itu, diperlukan literasi demokrasi yang tidak hanya sekadar mengenal prosedur demokrasi, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi etika, moral, dan ideologi bangsa.

Demokrasi Pancasila: Identitas dan Fondasi

Demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi liberal atau otoriter. Demokrasi ini berakar pada nilai-nilai luhur bangsa yang tertuang dalam Pancasila, khususnya sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Artinya, demokrasi Indonesia bukan sekadar one man, one vote, melainkan demokrasi yang berorientasi pada musyawarah, mufakat, dan kepentingan bersama.

Dalam perjalanan sejarah, praktik demokrasi di Indonesia memang sering mengalami pasang surut. Namun, Pancasila tetap menjadi kompas moral yang mengarahkan agar demokrasi tidak jatuh ke dalam liberalisme tanpa batas atau totalitarianisme yang mengekang kebebasan. 

Oleh sebab itu, literasi demokrasi Pancasila berarti mengajarkan masyarakat untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai demokrasi yang selaras dengan identitas bangsa.

Literasi Demokrasi di Era Digital

Era digital membawa dua wajah bagi demokrasi. Di satu sisi, teknologi digital membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Rakyat bisa mengakses informasi politik, mengkritisi kebijakan pemerintah, hingga ikut serta dalam gerakan sosial melalui media sosial. Demokrasi menjadi lebih bottom-up karena suara rakyat dapat terdengar secara langsung.

Namun di sisi lain, ruang digital juga dipenuhi dengan hoaks, ujaran kebencian, politik identitas yang sempit, serta kampanye hitam. Demokrasi bisa terdistorsi ketika ruang publik dikuasai oleh algoritma media sosial yang lebih mementingkan sensasi ketimbang substansi.

Oleh karena itu, literasi demokrasi tidak cukup hanya mengajarkan tentang hak memilih dalam pemilu atau partisipasi politik formal, tetapi juga kemampuan kritis dalam mengelola informasi digital. 

Masyarakat harus mampu membedakan antara informasi yang valid dan manipulatif, antara kritik yang membangun dan provokasi yang merusak.

Literasi Demokrasi Pancasila: Mengikat Nilai dan Teknologi

Bagaimana cara mengikat nilai-nilai Pancasila dalam praktik demokrasi era digital? Ada beberapa aspek penting yang dapat menjadi pijakan:

1. Etika Musyawarah dalam Ruang Digital

Media sosial seringkali menjadi arena pertengkaran, saling hujat, dan perpecahan. Padahal, sila keempat Pancasila mengajarkan pentingnya musyawarah dengan hikmat kebijaksanaan. 

Literasi demokrasi Pancasila menuntut masyarakat agar menjadikan ruang digital sebagai tempat diskusi sehat, bukan arena konflik yang merusak kohesi sosial.

2. Keadilan Sosial dalam Akses Digital

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan pentingnya pemerataan. Literasi demokrasi berarti juga menyadari bahwa akses digital harus adil.

Jangan sampai demokrasi digital hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan sementara pedesaan tertinggal. Perlu kebijakan afirmatif untuk menutup kesenjangan digital.

3. Kemanusiaan dalam Demokrasi Digital

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan bahwa partisipasi politik di dunia maya harus tetap menghormati martabat manusia. 

Menghina, memfitnah, atau menyebarkan kebencian bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Literasi demokrasi berarti menempatkan etika kemanusiaan dalam setiap interaksi digital.

4. Persatuan dalam Keberagaman

Di era digital, politik identitas mudah sekali dimainkan. Isu SARA sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.

Literasi demokrasi Pancasila mengajarkan agar ruang digital menjadi sarana memperkuat persatuan, bukan menegaskan perpecahan.

Generasi Muda sebagai Garda Depan

Bonus demografi menjadikan generasi muda sebagai aktor utama demokrasi di era digital. Namun, tanpa literasi demokrasi yang kuat, mereka justru bisa menjadi korban manipulasi informasi atau terjebak dalam euforia politik yang dangkal.

Pendidikan demokrasi berbasis Pancasila perlu ditanamkan sejak dini, tidak hanya melalui mata pelajaran formal, tetapi juga praktik langsung dalam organisasi mahasiswa, komunitas digital, maupun kegiatan kewarganegaraan. Generasi muda harus dilatih untuk:

1. Berpikir kritis terhadap informasi digital.

2. Mampu berdialog dengan perbedaan.

3. Mengedepankan kepentingan bangsa di atas ego kelompok.

4. Menggunakan teknologi digital untuk menyebarkan nilai Pancasila.

Dengan bekal tersebut, generasi muda bukan hanya pengguna media sosial, melainkan agen transformasi menuju Indonesia Emas.

Menuju Indonesia Emas 2045.

Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan Indonesia menjadi negara maju, adil, dan berdaulat. Namun, kemajuan ekonomi saja tidak cukup jika demokrasi rapuh. 

Demokrasi yang kuat dan sehat hanya bisa terwujud apabila literasi demokrasi Pancasila diinternalisasi oleh seluruh elemen bangsa. Ada tiga strategi yang bisa ditempuh:

1. Penguatan Pendidikan Demokrasi

Negara harus serius memasukkan literasi demokrasi Pancasila dalam kurikulum pendidikan. Tidak hanya teori, tetapi juga praktik nyata dalam kehidupan berorganisasi, kegiatan digital, hingga simulasi musyawarah.

2. Kolaborasi Negara dan Masyarakat Sipil

Pemerintah, ormas, lembaga pendidikan, dan media harus bersinergi dalam membangun ekosistem literasi demokrasi. Pemerintah tidak boleh represif terhadap kritik, sementara masyarakat sipil perlu membangun narasi demokrasi yang sehat.

3. Etika Digital Berbasis Pancasila

Indonesia perlu membangun regulasi dan budaya digital yang berpihak pada nilai Pancasila. Misalnya, mendorong platform digital untuk meminimalisasi ujaran kebencian, memperkuat literasi digital nasional, serta mengembangkan aplikasi yang mendukung partisipasi demokratis.

Literasi demokrasi Pancasila bukan hanya soal memahami hak dan kewajiban warga negara, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini menjaga identitasnya dalam arus globalisasi digital. 

Pancasila adalah jangkar yang memastikan demokrasi Indonesia tetap berakar pada nilai-nilai luhur bangsa, sementara era digital adalah kendaraan yang bisa mempercepat perjalanan menuju Indonesia Emas.

Apabila literasi demokrasi Pancasila benar-benar diinternalisasi, Indonesia tidak hanya akan menjadi negara maju secara ekonomi, tetapi juga matang secara demokrasi, kuat dalam persatuan, dan beradab dalam pergaulan global.

Indonesia Emas 2045 bukanlah utopia, melainkan visi yang bisa dicapai. Namun, syarat utamanya adalah keberanian seluruh bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai kompas demokrasi di era digital. 

Dengan begitu, Indonesia akan berdiri tegak sebagai negara yang adil, makmur, berdaulat, dan berkepribadian dalam budaya. ***