Opini Oleh: Dr. Edi Rosman, M.Hum, Wakil Rektor III UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Media Sosial: Ruang Baru Kehidupan
Hari ini hampir semua orang punya media sosial. Dari pagi sampai malam, kita scroll layar, membaca kabar, atau membagikan cerita. Media sosial sudah seperti ruang hidup kedua: ada yang berguna untuk bekerja, berdakwah, berdagang, mencari hiburan, bahkan sekadar mengisi waktu kosong.
Namun, ruang digital tidak selalu sehat. Banyak sekali hoaks, caci maki, bahkan fitnah berseliweran setiap hari. Tidak sedikit pula konflik sosial di dunia nyata yang bermula dari unggahan di dunia maya. Kadang-kadang, hal yang terlihat kecil di layar bisa membesar menjadi masalah serius di masyarakat.
Literasi Diri: Mengelola Sebelum Membagikan
Tentang pentingnya literasi diri. Artinya, kita harus bisa mengelola diri sebelum mengelola akun. Jangan asal share, jangan asal komentar, dan jangan asal posting. Karena sejatinya, setiap kata yang kita ketik, setiap gambar yang kita unggah, dan setiap berita yang kita bagikan adalah cerminan diri kita.
Literasi diri mengajarkan agar kita berhenti sejenak sebelum menekan tombol posting. Kita bertanya kepada diri sendiri:
1. Apakah ini bermanfaat?
2. Apakah ini benar?
3. Apakah ini akan menyakiti orang lain?
Kalau kita bisa membaca diri dengan baik, maka media sosial bisa jadi ruang kebaikan, bukan arena konflik.
Perspektif Wahyu: Cahaya untuk Dunia Digital
Islam sejak awal sudah mengajarkan pentingnya berhati-hati dalam berbicara dan menyebarkan informasi. Al-Qur’an menegaskan, kalau dapat berita, jangan langsung percaya sebelum tabayyun:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat : 6).
Ayat ini sangat relevan di era media sosial, ketika setiap orang bisa menjadi “pemberita”. Kita tidak lagi hanya menerima informasi dari media resmi, tetapi dari grup WhatsApp keluarga, status Facebook teman, atau tweet seseorang yang tentu saja belum jelas sumbernya.
Bahkan Rasulullah SAW sudah mengingatkan dengan sederhana namun sangat kuat maknanya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim).
Prinsip yang dikatakan baik atau diam ini, jika diterapkan di media sosial, akan menjadi filter yang ampuh untuk menjaga ruang digital tetap sehat.
Dimensi Literasi Diri
Literasi diri dalam perspektif wahyu kiranya mencakup tiga hal:
1. Literasi Pikiran
Mampu berpikir kritis sebelum percaya pada informasi. Jangan cepat terpancing dengan judul bombastis atau kabar yang belum jelas kebenarannya.
2. Literasi Hati
Menyaring emosi sebelum menulis komentar. Seringkali, kata-kata yang ditulis saat marah bisa berakhir penyesalan. Literasi hati berarti mengendalikan kemarahan, mengganti kebencian dengan kalimat yang menyejukkan.
3. Literasi Perilaku
Menyadari bahwa setiap unggahan akan meninggalkan jejak digital. Apa yang kita tulis hari ini bisa dibaca lagi bertahun-tahun kemudian. Oleh karena itu, literasi diri berarti menata perilaku agar konsisten dengan nilai-nilai kebaikan.
Indonesia dan Tantangan Digital
Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia. Data We Are Social (2024) mencatat lebih dari 167 juta pengguna aktif media sosial di tanah air. Angka yang sangat besar ini bisa menjadi peluang emas, tapi juga risiko besar.
Kementerian Kominfo melaporkan ribuan hoaks beredar setiap tahunnya. Ironisnya, tidak jarang orang terpelajar ikut menyebarkannya, karena mungkin terburu-buru atau sekadar iseng.
Padahal, sekali hoaks tersebar, dampaknya bisa panjang: merusak reputasi, menimbulkan kekhawatiran, bahkan memicu perpecahan.Itulah sebabnya, literasi diri menjadi benteng pertama agar ruang digital di Indonesia lebih sehat.
Literasi Diri sebagai Amal Jariyah
Jika dilihat dari kacamata wahyu, bermedia sosial bukan hanya urusan dunia, tetapi juga urusan akhirat. Setiap postingan bisa bernilai pahala atau dosa.
Bayangkan jika kita menulis sesuatu yang bermanfaat, lalu ribuan orang membaca, menyebarkannya, dan membagikannya lagi. Itu akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.
Sebaliknya, jika kita menyebarkan fitnah, hoaks, atau kebencian, dosa itu pun akan terus mengalir seiring dengan tersebarnya konten tersebut. Inilah yang disampaikan Rasulullah SAW ketika menyebut bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban.
Strategi Praktis Literasi Diri
Agar lebih konkret, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di dunia digital:
1. Verifikasi sebelum berbagi – cek sumber berita, baca sampai tuntas, jangan hanya melihat judul.
2. Kontrol emosi – jika sedang marah, tunda menulis komentar; lebih baik diam daripada menyesal.
3. Pikirkan dampak sosial – tanyakan pada diri sendiri: apakah ini akan bermanfaat bagi orang lain?
4. Gunakan media sosial untuk kebaikan – sebarkan ilmu, motivasi, dakwah, atau cerita inspiratif.
Dengan langkah sederhana ini, literasi diri tidak lagi sekadar konsep, tetapi menjadi praktik nyata.
Pada akhirnya, literasi diri adalah kunci untuk menjadikan media sosial sebagai ruang yang sehat.
Dalam perspektif wahyu, literasi diri bukan sekedar keterampilan, tetapi juga ibadah. Menahan diri untuk tidak menyebarkan hoaks adalah ibadah. Menuliskan kalimat yang menyejukkan adalah ibadah.
Kalau literasi diri kuat, maka media sosial bukan lagi tempat saling menyakiti, tapi ruang silaturahmi dan ladang pahala. Dari situ kita bisa membangun Indonesia yang lebih sehat—bukan hanya sehat secara fisik, tapi juga sehat secara moral, sosial, dan spiritual. ***