Opini Oleh: Dr. Edi Rosman, M.Hum (Wakil Rektor III UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Kita hidup di zaman ketika batas antara ruang nyata dan ruang digital semakin kabur. Hampir semua aktivitas belajar, bekerja, berdagang, hingga bersosialisasi ditopang oleh informasi teknologi.
Tidak ada hari tanpa gawai, tidak ada percakapan tanpa aplikasi pesan instan, bahkan informasi publik yang paling serius kini lebih cepat menyebar melalui media sosial daripada media arus utama.
Perubahan ini membawa dampak ganda: membuka peluang besar sekaligus menghadirkan risiko baru. Oleh karena itu, literasi hukum dan literasi media menjadi kompetensi yang mendesak bagi masyarakat.
Tanpa memahami hukum, kita bisa terjerat aturan tanpa disadari. Tanpa media literasi, kita mudah hanyut dalam arus hoaks dan propaganda.
Dua Literasi, Satu Tantangan
Literasi hukum tidak hanya mengetahui pasal-pasal undang-undang, tetapi juga memahami hak, kewajiban, dan konsekuensi hukum dari setiap tindakan.
Sementara itu, literasi media menuntut kemampuan kritis dalam memilah informasi, menilai kredibilitas sumber, serta memahami dampak konten digital terhadap masyarakat.
UNESCO (2013) menyebut literasi media dan informasi sebagai kompetensi hidup yang wajib dimiliki warga abad ke-21. Data Kominfo menunjukkan, pada tahun 2022 saja, lebih dari 11.000 hoaks beredar di Indonesia. Fakta ini menegaskan betapa seriusnya tantangan di ruang digital kita.
Mengapa Masyarakat Membutuhkan Literasi Kedua Ini?
Pertama, tidak semua informasi digital benar. Banyak yang berupa potongan fakta, opini yang dipelintir, atau manipulasi visual. Tanpa literasi media, masyarakat cenderung cepat percaya dan menyebarkan. Padahal, sekali dipublikasikan, sebuah informasi bisa menimbulkan konsekuensi hukum.
Kedua, ruang digital menyimpan jejak. Setiap unggahan, komentar, atau foto bisa menjadi barang bukti. Banyak orang yang meninggal dengan hukum karena status media sosial yang ditulis dalam emosi saat itu. Penelitian Nasrullah (2020) bahkan menyebut jejak digital bersifat “abadi” dan sulit dihapus sepenuhnya.
Ketiga, media digital sering disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian, fitnah, dan memicu konflik. Dalam konteks ini, literasi hukum dan media bukan sekadar proteksi pribadi, tetapi juga fondasi yang menjaga kohesi sosial.
Belajar dari Kasus Nyata
Kita tentu masih ingat beberapa tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa dijerat pasal pencemaran nama baik akibat komentar singkat di media sosial. Ada pula kasus orang yang didenda karena mengunggah ulang konten berhak cipta tanpa izin.
Temuan LIPI (2021) mengungkap, 70% kasus pelanggaran UU ITE berawal dari ketidaktahuan masyarakat terhadap batasan hukum digital. Artinya, rendahnya literasi hukum menjadi pintu masuk berbagai persoalan.
Bagaimana Membangun Literasi Hukum dan Media?
Ada sejumlah langkah agar masyarakat tidak sekadar menjadi “konsumen informasi”, tetapi juga “pengguna cerdas” ruang digital:
1. Pelajari aturan dasar dunia maya
Pahami UU ITE, hak cipta, dan aturan perlindungan data pribadi. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan agar lebih berhati-hati.
2. Biasakan verifikasi informasi (tabayyun)
Islam mengajarkan untuk menyelidiki kebenaran berita (QS. Al-Hujurat:6). Prinsip ini relevan di tengah banjir hoaks.
3. Bangun etika digital
Kesadaran hukum tanpa etika hanya menghasilkan pemenuhan yang minimal. Etika digital membimbing kita tetap sopan dan menghormati sesama, meski hanya berinteraksi lewat layar.
4. Kelola emosi dan waktu
Banyak pelanggaran hukum lahir dari luapan emosi, bukan niat jahat. Menahan diri sebelum mengetik adalah langkah sederhana yang bisa menyelamatkan.
5. Produksi konten positif
Media digital bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga produksi. Menyebarkan konten edukatif, inspiratif, atau dakwah akan memperkuat ekosistem media yang sehat.
Peran Pendidikan dan Lembaga Publik
Literasi hukum dan media bukan hanya tanggung jawab individu. Lembaga pendidikan dari sekolah hingga kampus wajib menanamkan kesadaran sejak dini. Mahasiswa, misalnya, perlu dibekali analisis kritis terhadap sekaligus pemahaman media hukum digital.
Pemerintah juga harus aktif. Regulasi memang penting, tetapi mendidik masyarakat lebih utama. Masyarakat perlu diajak memahami hukum, bukan sekedar ditakut-takuti.
Menjaga Ruang Digital Tetap Sehat
Jika literasi hukum mengajarkan tentang batas, maka literasi media mengajarkan tentang kualitas. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dengan literasi hukum, kita tahu apa yang boleh dan tidak boleh. Dengan media literasi, kita tahu apa yang pantas dan bermanfaat.
Serupa dengan yang ditegaskan Buckingham (2015), literasi media tidak hanya mengajarkan isi media, tetapi juga struktur, ideologi, dan kepentingan di baliknya. Dengan demikian, masyarakat tidak sekedar menjadi konsumen pasif, tetapi aktor aktif yang cerdas.
Dua Pilar Masyarakat Digital
Era digital adalah keniscayaan. Yang bisa kita lakukan adalah membekali diri dengan keterampilan agar tetap aman dan produktif. Literasi hukum dan literasi media menjadi dua pilar utama dalam mewujudkan masyarakat digital yang cerdas, beretika, dan berkeadilan.
Mari jadikan ruang digital bukan ladang konflik, melainkan ruang silaturahmi, dakwah, dan pemberdayaan. Pada akhirnya, setiap kata, unggahan, dan tindakan kita di media akan dimintai pertanggungjawaban baik di hadapan hukum manusia maupun hukum Allah. ***